Spakat dengan Pak Dhe Rovicky,
Akan lebih terpatri di dalam memori jika itu ada 'pengalaman' dari obyek itu yaitu dengan pernah mengalaminya (mengahadapi bencana ternyata butuh pengalaman

)
Kesadaran masyarakat untuk waspada bencana adalah penting terkhusus untuk masyarakat2 yang berada di daerah rawan bencana, seperti pantai, dekat gunung berapi, dekat lumpur lapindo, dan lain-lain. Untuk menumbuhkan kesadaran pada mereka itu juga bukan hal yang instan.
Saya dan teman2 pernah survei di daerah pantai Tulungagung untuk mengisi liburan semester dua kami (2007). Di Pantai Sidem. Masyarakat pantai Sidem mempunyai tempat tinggal yang berada di zona abrasi, jika pasang tinggi saat purnama terdapat air laut bisa 5 -3 meter tepat dibelakang rumah terluar dusun tersebut. Dan saat Gempa Jogja 2006 beberapa bangunan tersapu ombak. mengelilingi kampung tersebut dan kami tidak menemukan poster ataupun tanda-tanda jalur evakuasi ataupun apa. Sangat memprihatinkan. Selain bertanya, kami membagikan poster yang kami print hitam putih, kami menemui Pak RT dari kampung tersebut, ada 4 RT yang kami temui, dan kami mengobrol dengan mereka. Dari Pak RT-Pak RT kami tahu, memang pernah ada sosialisasi pasca gempa Jogja tersebut, setelah mereka kembali dari pengungsian. Mereka mengungsi di tempat tinggi di bukit tepat di belakang perkampungan ini yang intinya mereka harus lari menuju ke tempat tinggi jika terjadi gempa dan air laut surut. Sementara tsunami menurut manual 'early warning sytem' dari beberapa reference yang saya baca tidak semua diawali dengan surutnya air laut. Dan dari masyarakat yang kami lakukan survei, sebagian besar belum tau bagaimana suatu kondisi yang harus diwaspadai, seperti jarak rumah mereka dengan air pasang tertinggi, bgaimana mereka akan mengungsi, jalur evakuasi dan lain, maintaining pasca bencana, selain jika gempa maka mereka lari ke bukit (bukannya emang harus lari ke bukit ya Lok

, ya kan tidak harus semua gempa mereka lari ke bukit

)
Setelah survei dan jalan ke pantai (hyaa

), kami membuat konsep sketsa kampung yang kami pandang lebih aman, ada 3 plan usul sketsa seingat saya, termasuk pembuatan semacam pemecah gelombang di salah satu usul, kmudian bagaimana mitigasi harus dilakukan pre, kejadian dan pasca gbencana. Salahnya kami, kami tidak pergi ke sana lagi, kami hanya memberikan karya tulisnya ke Bappeda, dan kami ikutkan lomba karya tulis.
Berbicara tentanag masyarakat memang tidak ada habisnya. Masyarakat di garis depan yang kebanyakan marginal memang sangat butuh perhatian. Para intelek memang diharapkan lebih mendekatkan diri dan memberikan aplikasi ilmunya langsung, mereka akan sangat merekam dengan adanya contoh2 di 'daily activity' mereka. Dalam hal ini KKN (Kuliah Kerja Nyata) dari perguruan tinggi sangatlah saya sarankan. Konsep pendekatan personal di keseharian mereka dalam jangka waktu yang tidak terlau singkat akan lebih melekat dari pada sebatas simulasi satu hari. Pendekatan kepada anak2 kecil yang ada di masyarakat juga akan memberikan dampak yang significant dan bisa menjadi stimulan orangtua2 nya. Masyarakat memang sangat membutuhkan contoh dan pendekatan. Jika tidak, dalam pikiran mereka hanyalah saat ini dan bagaimana saya makan. Dan jika tidak terdapat satu sistem yang jelas yang mereka pahami saat mitigasi, maka jika bencana terjadi mereka akan terpencar sendiri2 tanpa suatu integrasi dan sinkronisasi yang malah akan membuat proses mitigasi amburadul.
Semoga semua perguruan tinggi di Indonesia ada program KKN sehingga sarjananya benar2 mengenal masyarakatnya
Salam mitigasi,
E